CANDI CANGKUANG GARUT JAWA BARAT
Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo,
wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles,Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga
yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya
candi Hindu di Tatar Sunda. Candi ini terletak bersebelahan dengan
makam Embah Dalem Arief Muhammad, sebuah makam kuno pemuka agama Islam
yang dipercaya sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang.
Candi Cangkuang Tampak Depan
Candi Cangkuang Tampak Belakang
Lokasi
Desa Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Jawa Barat, yang
antara lain Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan
Gunung Guntur. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi
ini berada. Kata 'Cangkuang' sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan
(pandanus furcatus), yang banyak terdapat di sekitar makam, Embah Dalem
Arief Muhammad, leluhur Kampung Pulo. Daun cangkuang dapat dimanfaatkan
untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus. Cagar budaya Cangkuang
terletak di sebuah daratan di tengah danau kecil (dalam bahasa Sunda
disebut situ), sehingga untuk mencapai tempat tersebut melalui jalur
utama, pengunjung harus menyeberang dengan menggunakan rakit. Aslinya
Kampung Pulo dikelilingi seluruhnya oleh danau, akan tetapi kini hanya
bagian utara yang masih berupa danau, bagian selatannya telah berubah
menjadi lahan persawahan. Selain candi, di pulau itu juga terdapat
pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan cagar
budaya.[1]
Candi Cangkuang terdapat di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang
dari barat ke timur dengan luas 16,5 ha. Pulau kecil ini terdapat di
tengah danau Cangkuang pada koordinat 106°54'36,79" Bujur Timur dan
7°06'09" Lintang Selatan. Di Wikimapia [1]. Selain pulau yang memiliki
candi, di danau ini terdapat pula dua pulau lainnya dengan ukuran yang
lebih kecil.
Lokasi danau Cangkuang ini topografinya terdapat pada satu lembah yang
subur kira-kira 600-an m l.b.l. yang dikelilingi pegunungan: Gunung
Haruman (1.218 m l.b.l.) di sebelah timur - utara, Pasir Kadaleman (681 m
l.b.l.) di timur selatan, Pasir Gadung (1.841 m l.b.l.) di sebelah
selatan, Gunung Guntur (2.849 m l.b.l.) di sebelah barat-selatan, Gunung
Malang (1.329 m l.b.l.) di sebelah barat, Gunung Mandalawangi di
sebelah barat-utara, serta Gunung Kaledong (1.249 m l.b.l.) di sebelah
utara.
Sejarah
Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti
Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita berdasarkan laporan Vorderman dalam buku
Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893 mengenai adanya
sebuah arca yang rusak serta makam kuno di bukit Kampung Pulo, Leles.
Makam dan arca Syiwayang dimaksud memang diketemukan. Pada awal
penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan sebuah
bangunan candi.[1] Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief Muhammad
yang dianggap penduduk setempat sebagai leluhur mereka. Selain menemukan
reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar
yang diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Penelitian
selanjutnya (tahun 1967 dan 1968) berhasil menggali bangunan makam.
Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan
agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu zaman dengan candi-candi di
situs Batujayadan Cibuaya?), yang mengherankan adalah adanya pemakaman
Islam di sampingnya.
Pada awal penelitian terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan
bangunan candi dan di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut
sebuah arca Syiwa yang terletak di tengah reruntuhan bangunan. Dengan
ditemukannya batu-batu andesit berbentuk balok, tim peneliti yang
dipimpin Tjandrasamita merasa yakin bahwa di sekitar tempat tersebut
semula terdapat sebuah candi. Penduduk setempat seringkali menggunakan
balok-balok tersebut untuk batu nisan.
Berdasarkan keyakinan tersebut, peneliti melakukan penggalian di lokasi
tersebut. Di dekat kuburan Arief Muhammad peneliti menemukan fondasi
candi berkuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang
berserakan. Dengan penemuan tersebut Tim Sejarah dan Lembaga
Kepurbakalaan segera melaksanakan penelitian didaerah tersebut. Hingga
tahun 1968 penelitian masih terus berlangsung. Proses pemugaran Candi
dimulai pada tahun 1974-1975 dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan
pada tahun 1976 yang meliputi kerangka badan, atap dan patung Syiwa
serta dilengkapi dengan sebuah joglo museum dengan maksud untuk
dipergunakan menyimpan dan menginventarisir benda-benda bersejarah bekas
peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten Garut. Dalam pelaksanaan
pemugaran pada tahun 1974 telah ditemukan kembali batu candi yang
merupakan bagian-bagian dari kaki candi. Kendala utama rekonstruksi
candi adalah batuan candi yang ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya,
sehingga batu asli yang digunakan merekonstruksi bangunan candi
tersebut hanya sekitar 40%. Selebihnya dibuat dari adukan semen, batu
koral, pasir dan besi.
Candi Cangkuang merupakan candi pertama dipugar, dan juga untuk mengisi
kekosongan sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran. Para ahli menduga
bahwa Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8, didasarkan pada tingkat
kelapukan batuannya, serta kesederhanaan bentuk (tidak adanya relief).
Bangunan Candi
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan
hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada
sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30
cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan
pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur
terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar
1,26 m.
Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 m dengan tinggi
2,49 m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m
(tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat
berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 x 2,74 m yang
tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 m
yang tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4
m yang dalamnya 7 m.
Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an)
dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri
menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki
kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat
kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya
kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua
tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias
perut, penghias dada dan penghias telinga.
Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua
pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm,
lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm
& 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41 cm.
Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sesungguhnya adalah
hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanyalah 40%-an.
Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah
diketahui.
Candi ini berjarak sekitar 3 m di sebelah selatan makam Arif Muhammad/Maulana Ifdil Hanafi.
0 komentar: